Minggu, 17 April 2011

Kesetaraan Jender Memaknai Keadilan dari Perspektif Islam

Keadilan adalah gagasan paling sentral sekaligus tujuan tertinggi yang diajarkan setiap agama dan kemanusiaan dalam upaya meraih cita-cita manusia dalam kehidupan bersamanya. Abu Bakar al Razi (wafat 865 M), pemikir besar Islam pada masanya, menegaskan, "Tujuan tertinggi kita diciptakan dan ke mana kita diarahkan bukanlah kegembiraan atas kesenangan fisik, tetapi pencapaian ilmu pengetahuan dan praktik keadilan." Jauh sebelumnya filsuf klasik Aristoteles mengemukakan, "Keadilan adalah kebajikan tertinggi yang di dalamnya setiap kebajikan dimengerti." Dalam konteks Islam, sentralitas ide keadilan dibuktikan melalui penyebutannya di dalam Al Quran lebih dari 50 kali dalam beragam bentuk. Di samping menggunakan kata al รข€™Adl, kitab suci tersebut juga menggunakan kata lain yang maknanya identik dengan keadilan, seperti al qisth, al wasath (tengah), al mizan (seimbang), al sawa/al musawah (sama/persamaan), dan al matsil (setara). Lebih dari itu keadilan menjadi nama bagi Tuhan dan tugas utama kenabian. Teks-teks suci Islam yang di dalamnya disebut kata adil atau keadilan memperlihatkan bahwa ia merupakan gabungan nilai moral dan sosial yang menunjukkan kejujuran, keseimbangan, kesetaraan, kebajikan, dan kesederhanaan. Nilai moral ini menjadi inti visi agama yang harus direalisasikan manusia dalam kapasitasnya sebagai individu, keluarga, anggota komunitas, maupun penyelenggara negara. Antonim keadilan adalah kezaliman (al zhulm), tirani (al thugyan), dan penyimpangan (al jawr). Hal ini menunjukkan keadilan memiliki dua sisi yang harus diperjuangkan simultan: menciptakan moralitas kemanusiaan yang luhur dan menghapuskan segala bentuk penderitaan. Keadilan bagi perempuan Keadilan secara umum didefinisikan sebagai "menempatkan sesuatu secara proporsional" dan "memberikan hak kepada pemiliknya". Definisi ini memperlihatkan, dia selalu berkaitan dengan pemenuhan hak seseorang atas orang lain yang seharusnya dia terima tanpa diminta karena hak itu ada dan menjadi miliknya. Dalam konteks relasi jender, wujud pemenuhan hak atas perempuan masih merupakan problem kemanusiaan yang serius. Realitas sosial, kebudayaan, ekonomi dan politik masih menempatkan perempuan sebagai entitas yang direndahkan. Persepsi kebudayaan masih melekatkan stereotipe yang merendahkan, mendiskriminasi dan memarjinalkan mereka. Satu-satunya potensi perempuan yang dipersepsi kebudayaan adalah tubuhnya. Pandangan ini pada gilirannya mendasari perspektif kebudayaan tubuh perempuan seakan sah dieksploitasi, secara intelektual, ekonomi dan seksual, melalui beragam cara dan bentuknya di ruang privat maupun publik. Laporan Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2006 yang membukukan 22.350 kasus kekerasan terhadap kaum perempuan. Demikianlah perempuan masih menjadi korban kebudayaan yang dirumuskan berdasarkan ideologi patriarkhis dan serba maskulin. Maka, keadilan bagi perempuan tampak masih sebatas sebagai retorika. Lalu ke arah mana perempuan korban ketidakadilan tersebut harus diakhiri? Gagal memenuhi Komunitas dunia sepakat, ketidakadilan harus diakhiri melalui diktum hukum, termasuk fikih. Hal yang diidealkan dari hukum adalah keputusannya memastikan tercapainya keadilan substansial. Tetapi, produk perundangan dan fikih tidak selamanya melahirkan keadilan bagi korban (perempuan). Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), misalnya, belum mengafirmasi keadilan bagi perempuan. Dalam konteks Islam, menarik mengemukakan pandangan ahli hukum Islam klasik; Ibnu al Qayyim al Jauziyah (w. 1350 M). Dia mengatakan, tidak masuk akal jika hukum Islam menciptakan ketidakadilan, meskipun dengan mengatasnamakan teks ketuhanan. Jika ini terjadi, pastilah pemaknaan dan rumusan hukum positif tersebut mengandung kekeliruan. Dia juga mengatakan keadilan manusia harus diusahakan dari mana pun ia ditemukan karena ia juga adalah keadilan Tuhan yang hanya untuk tujuan itulah hukum Tuhan diturunkan. Dengan begitu, interpretasi dan pemaknaan atas teks ketuhanan yang tidak mampu menangkap esensi keadilan harus diluruskan. Pandangan ini juga bisa menjadi rujukan bagi hukum positif lain. Suara korban Kegagalan instrumen hukum memenuhi keadilan bagi perempuan lebih disebabkan masih kokohnya pengaruh persepsi dan konstruksi kebudayaan patriarkhis. Adalah niscaya di atas premis kebudayaan dan tradisi ini terminologi hukum dan kebijakan publik, termasuk postulat fikih, harus dibangun. Dari sinilah kita perlu membangun kembali makna keadilan berdasarkan konteks sosial baru dan dengan paradigma keadilan substantif sebagaimana sudah dikemukakan pada awal tulisan. Penyusunan makna keadilan bagi perempuan dalam konteks ini harus didasarkan pada dan dengan mendengarkan pengalaman perempuan korban. Pemenuhan keadilan bagaimanapun hanya dapat tercapai jika kebudayaan dan tradisi masyarakat menunjukkan pemihakannya kepada korban. Hal lain yang lebih mendasar adalah pemaknaan keadilan bagi perempuan harus didasarkan pada paradigma hak asasi manusia. Bagi saya, hak asasi manusia bukan saja sejalan melainkan menjadi tujuan keputusan Tuhan. Perempuan dalam paradigma ini memiliki seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana yang dimiliki laki-laki. Dari sini konstruksi sosial baru yang menjamin keadilan jender diharapkan lahir menjadi basis pendefinisian kembali pranata sosial, regulasi, kebijakan politik, dan ekonomi, tidak terkecuali fikih. Kesimpulan uraian di atas adalah keadilan bagi perempuan mutlak dimaknai kembali sejalan dengan prinsip kemanusiaan, karena keadilan sendiri adalah kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


politani pangkep

politani pangkep